Raja Alam, Pahlawan yang Terlupakan

Makassar berhasil dikuasai, raja beserta
keluarga kerajaan melarikan diri ke Bumi Batiwakkal –

sebutan Kabupaten Berau - hingga bertemu Sultan Alimuddin,
sang Raja Alam.
PADA abad 19 sekitar tahun 1830, Belanda berusaha
menguasai Berau kala itu. Namun, bukan berarti Berau tinggal
diam dengan upaya penyerangan. Ada aksi heroik yang
dilakukan sosok Raja Alam. Seperti yang tertulis pada buku Aji
Ramatsyah (keturunan dari Kesultanan Gunung Tabur).
Belanda memperkuat militernya sebelum menjajah Benua Etam
bagian utara ini. Di bulan April tahun 1834 tepatnya di
pangkalan angkatan laut, mereka menggelar latihan dan
mempersiapkan armada maupun peralatan militer untuk
menghadapi Raja Alam dan pasukannya.
Enam bulan setelah melakukan persiapan, Kapten Laut
Belanda bernama Anemaet, berangkat dari Makassar menuju
perairan Berau. Dia membawa cukup besar angkatan laut
dengan kapal perang Kruisboot Nomor 18 berkekuatan 71
orang matros bersenjata, 110 serdadu dan sejumlah perwira.
Tak hanya itu, armada Korvet Heldin, Korvet Brik Syiwa,
Schoener Korokodil, Schoener Kastor dan beberapa kapal
kecil turut serta. (Korvet dan Schoener merupakan jenis kapal
perang berukuran kecil)
Alangkah terkejutnya Anemaet, ketika berada di Selat
Makassar dan Laut Sulawesi dihadapkan dengan 200 armada
yang dipimpin oleh Raja Alam menghadang angkatan lautnya.
Aksi ini bahkan diakui Belanda sebagai salah satu Raja di
Kalimantan Timur yang berani melawan angkatan laut Belanda
yang cukup besar. Itu tercatat di memori J.Hageman Joz.1855
halaman 102.
Masuknya Belanda di Bumi Batiwakkal, sudah diprediksi oleh
Raja Alam berdasarkan cerita dari masyarakat maupun
keluarga kerajaan dari Makassar, sehingga dia mengantisipasi
dengan membangun benteng-benteng maupun mempersiapkan
segala sesuatunya.
“Informasinya, apa yang dilakukan Raja Alam menghadang
Belanda itu merupakan kekuatan besar pertama dengan
armada terbanyak yang pernah dilakukan Indonesia,” ungkap
Aji Ramatsyah, saat ditemui di museum mini kediamannya di
Jalan Kampung Cina Kecamatan Teluk Bayur, beberapa waktu
lalu.
Pertempuran sengit terjadi diperairan selama beberapa hari.
Raja Alam lebih banyak menggunakan kapal-kapal dari Solok
Filipina Selatan, yang menantu dari Raja Alam berasal dari
Solok. Kapal dari Bugis bernama Binta juga dikerahkan, kapal
ini cukup lincah pergerakannya dan membawa meriam-meriam
kecil. Raja Alam mendapat bantuan itu dari pelarian-pelarian
orang Sulawesi.
Sayangnya, kekuatan Belanda terlalu besar dan cukup canggih
di masa itu, hingga memukul mundur Raja Alam serta
pasukannya ke Kampung Batu Putih.
Sebelum Belanda melakukan penyerangan besar, armada-
armada Belanda kerap diserang oleh Raja Alam di perairan
Selat Makassar ataupun Laut Sulawesi. Raja Alam pada
awalnya, lebih dikenal Belanda sebagai perompak.
Benteng-benteng di Batu Putih dan Dumaring yang telah
dibangun pada akhirnya hancur oleh Belanda, kawasan itu juga
berhasil dikuasai. Rajam Alam mundur ke Tanjung Redeb
bersama pengikutnya. Pusat pemerintahan Raja Alam atau
keratonnya dulu berada di Tanjung Redeb, tepatnya di
Kelurahan Gayam atau bisa disebut Kampung Bugis.
Dinamakan Kampung Bugis, karena pada masa itu orang-
orang yang berasal dari Suku Bugis datang ke wilayah Raja
Alam.
Tak cukup sampai di Batu Putih, Belanda terus melakukan
pengejaran terhadap Raja Alam. Angkatan laut Anemaet
masuk ke Sungai Berau dan melakukan pengepungan dari
Sungai Kelay maupun Segah. Keraton Raja Alam dibakar.
Sempat melarikan diri ke perdalaman Kelay, namun akhirnya
dia tertangkap oleh Belanda.
Raja Alam terpaksa menyerah, karena banyak masyarakat yang
menjadi korban Belanda yang mencarinya. Setelah tertangkap,
karena tidak ingin mengakui pemerintahan Belanda dan
bekerjasama, Raja Alam diasingkan ke Makassar.
“Beliau kemudian diasingkan bersama keluarganya ke
Makassar sekitar dua tahun,” ujar pria berumur 81 tahun itu.
Pada 18 September 1836 Sultan Gunung Tabur Adji Kuning
mengirim surat ke pada Belanda di Banjarmasin, permohonan
itu atas dasar pertimbangan yang sangat mendalam agar Raja
Alam dibebaskan dan dipulangkan ke tanah kelahirannya
walaupun dengan syarat harus mengakui dan tunduk kepada
Pemerintah Belanda.
“Kondisi beliau pada saat itu sudah sangat tua, jadi atas
pertimbangan itulah ingin dipulangkan,” tuturnya.
Pada 24 Juli 1837, Raja Alam tiba kembali di Berau. Karena
keraton sudah tidak ada dibakar oleh Belanda, Raja Alam tidak
mungkin kembali ke Tanjung Redeb.
Untuk melanjutkan kehidupan di masa tuanya dan tidak ingin
melihat kelicikan Belanda, Raja Alam membangun
pemerintahan di Sungai Rindang Tembudan 1837 - 1852.
Sampai akhir hayatnya Raja Alam tetap dekat dengan
rakyatnya.
Pada tahun 1852 Raja Alam mangkat. Seorang raja yang gagah
berani memiliki jiwa kepahlawanan sejati dalam sejarah Berau.
Beliau dimakamkan di Sungai Rindang dan selanjutnya di kenal
dengan sebutan Marhum di Rindang, Kampung Tembudan
Kecamatan Batu Putih.
“Nama Raja Alam diabadikan menjadi nama Batalyon 613 Raja
Alam  Tarakan, selain itu beberapa nama jalan di Berau,”
tuturnya.
SIAPA RAJA ALAM?
Dikisahkan Ramatsyah, Sultan Alimuddin atau Raja Alam
merupakan sultan pertama dari Kerajaan Sambaliung, yang
mulai memerintah tahun 1810. Dia merupakan keturunan Raja
Berau ke-XVII Amiril Mukminin atau cucu dari Raja Berau ke-
XIII Hasanuddin.
Hasanuddin menikah dengan putri bangsawan Solok bernama
Dayang Lana dan dikaruniai lima anak yakni  Datu Amiril
Mukminin, Datu Saifuddin, Datu Jalaluddin, Dayang Bunnyut
dan Dayang Bungsu. Dari kelimanya, hanya Datu Amiril
Mukminin yang tinggal bersama ayahnya, hingga menjadi
pewaris takhta kerajaan. (lihat grafis silsilah kerajaan)
Sementara itu berdasarkan kisah Kepala Bidang Kebudayaan
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpa) Berau, Saprudin
Ithur, sebelum Alimuddin menjadi Raja atau Sultan
Sambaliung, terjadi perpecahan Kerajaan Berau. Namun, tidak
ada yang mengetahui, asal muasal digelarnya Raja Alam.
Pada masa Raja Berau ke-IX Adji Dilayas mempunyai dua
putra yang berbeda ibu. Permaisuri pertama melahirkan anak
bernama Amir namanya yang kemudian bergelar Adji Pangeran
Tua. Setelah Permaisuri wafat, Adji Dilayas menikah lagi
dengan Ratu Agung.
Perkawinan ini melahirkan pula seorang putra Hasan namanya,
kemudian bergelar Adji Pangeran Dipati.Setelah Adji Dilayas
wafat kedua putranya sama-sama ingin menjadi raja. Maka
Atas kesepakatan, wilayah Kerajaan Berau menjadi dua.
Hasil musyawarah berlanjut pada pengangkatan raja yang ke-X
Kerajaan Berau. Raja yang diangkat Adji Pangeran Tua,
sedangkan Adji Pangeran Dipati diangkat menjadi Mangkubumi
yang dipersiapkan untuk menjadi raja berikutnya.
Kata Saprudin, pada saat pemerintahan Pangeran Tua ini Islam
mulai masuk yang dibawa oleh seorang saudagar musafir Arab
yang bernama Mustafa.Sedangkan sebelumnya masih
menganut kepercayaan lama dan pengaruh Agama Hindu.
Pada Periode berikutnya Adji Pangeran Dipati diangkat menjadi
raja ke-XI, sedangkan Hasanuddin putra Adji Pangeran Tua
diangkat menjadi Raja Muda.
Saat Adji Pangeran Dipati mengundurkan diri dari takhtanya
seharusnya yang menjadi raja adalah Hasanuddin Raja Muda,
tetapi yang diangkat menjadi raja oleh Adji Pangeran Dipati
adalah putranya Adji Kuning sebagai raja ke-XII, dengan alasan
Adji Pangeran Dipati belum wafat melainkan hanya
mengundurkan diri, maka pemerintahan dilanjutkan oleh
anaknya.
“Pada masa ni Adji Pangeran Dipati sudah ingkar janji.Hal
inilah yang menyebabkan mulai timbulnya keretakan dan
perpecahan,” ujarnya.
Setelah Adji Kuning wafat baru Hasanuddin diangkat menjadi
raja ke –XIII dengan gelar Sultan Muhammad Hasanuddin.
Pada masa ini agama Islam dijadikan agama resmi kerajaan.
Kemudian pada periode berikutnya diangkat Sultan Zainal
Abidin. Kemudian dilanjutkan dengan Sultan Badaruddin
sebagai raja Berau.
Sultan Zainal Abidin Keturunan Adji Pangeran Dipati ini wafat
pada tahun 1800 dimakamkan di Muara  Bangun dan
selanjutnya dikenal dengan Marhum Di Bangun .
“Makam beliau dikeramatkan, makam tersebut saat ini terawat
dengan baik. Makam asli masih menggunakan nisan batu
tempo dulu tanpa ukiran. Di sekitarnya banyak makam-makam
tua bernisan batu alam pula,” terangnya.
Selanjutnya, Sultan Badaruddin dari keturunan Pangeran Dipati
diangkat menjadi raja ke-XV. Kejadian ini sangat menyinggung
perasaan keturunan Adji Pangeran Tua yang kedua kali, karena
seharusnya dari keturunannya yang menjadi raja.
Atas kesepakatan pihak Adji Pangeran Tua mereka
memisahkan diri, dan mengangkat raja sendiri. Sebagai raja
pertama diangkat Alimuddin sebagai Sultan dengan gelar Raja
Alam . Raja Alam memerintah selama 35 tahun.
Raja Alam membangun pusat pemerintahan di Sungai Gayam,
kemudian berseberangan dengan pusat kerajaan Gunung
Tabur yang pusat pemerintahannya dipindahkan dari Muara
Bangun ke Gunung Tabur. Sejak pemerintahan Raja Alam
berdiri. “Maka secara resmi kerajaan Berau terbagi menjadi
dua kesultanan yaitu Kesultanan Sambaliung dan Kesultanan
Gunung Tabur.
“Selain karena permasalahan keluarga dan keturunan sebagai
pemicu perpecahan juga andil besar dari pemerintahan
Belanda, dengan strategi adu domba,” pungkasnya.
HANYA MAKAM-MAKAM DAN KISAH
Dikatakan Saprudin, kisah atau sejarah Raja Alam banyak yang
tidak mengetahuinya, khususnya pemuda zaman sekarang.
Bahkan veteran setelah kemerdekaan juga banyak yang tak
mengetahui.”Hanya orang tua terdahulu maupun keluarga dua
kesultanan yang banyak tahu,” terangnya.
“Dapat dikatakan, generasi saat ini di Berau banyak yang lupa
dengan sejarah, apalagi Raja Alam,” sambungnya.
Ditambah perjuangan selama belasan tahun untuk menetapkan
sebagai Pahlawan Nasional, juga belum terealisasi hingga saat
ini.
Kisah Raja Alam dinilainya wajar banyak tak diketahui
masyarakat, karena peninggalan berupa barang maupun
keraton sudah tidak ada, termasuk benteng-benteng yang
dibangun di Tembudan. Kini yang tersisa hanya makam dan
kisah kepahlawannya.
Lanjut dia, kompleks keraton di Kelurahan Gayam, kini sudah
berdiri bangunan maupun rumah masyarakat. “Lokasi keraton
jadi toko, di kawasan itu ada beberapa makam keluarga Raja
Alam, di antaranya di Gang Borobudur dan belakang kantor
salah satu bank di Jalan SM Aminuddin,” jelas Saprudin.
Makam tersebut merupakan keturunan Raja Alam yakni Sultan
Muhammad Adil Jalaluddin bin Muhammad Jalaluddin yang
berada di Gang Borobudur dan Sultan Muhammad Hasyik
Syarifuddin bin Alam di belakang bank. Kedua makam
ditetapkan menjadi cagar budaya.
Menurut Saprudin, perjuangan yang dilakukan Raja Alam patut
dihargai, pembangunan tugu Raja Alam di sekitar eks
kompleks keraton sangat layak dibangun untuk mengingat dan
mengenang semua perjuangan yang dilakukan.
“Bangun tugu setinggi 50 meter, kemudian di bawahnya ada
ruangan khusus sebagai museum mini kisah Raja Alam,”
tegasnya.
“Inikan pahlawan kita sebenarnya, jadi harus dihargai,”
imbuhnya.
Tak adanya peninggalan berupa benda maupun bangunan dari
zaman Raja Alam, dibenarkan pemangku adat Kesultanan
Sambaliung, Datu Amir.
“Sudah tidak ada selain makam, termasuk di Keraton
Sambaliung saat ini,” ungkapnya kepada Berau Post.


Comments

Popular posts from this blog

Gusti Muhammad Seman Pahlawan Daerah yang Terlupakan

DATU INSAD - DESA SAMBANGAN TANAH LAUT